Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi

0
693

merayakan-kebebasan-beragama

“Buku ini mengupas habis-habisan mengenai pemikiran sosok plural di bidang kemajemukan beragama.”

DATA BUKU

  • Judul Buku: Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi
  • Jenis Buku: Essay
  • Genre: Nonfiksi
  • Penulis: Dawam Rahardjo, Mujiburrahman, Andreas A. Yewangoe, Franz Magnis Suseno, Martin Lukito Sinaga, Noorhadi Hasan, Greg Barton, Siti Mudah Mulia, Trisno Sutanto, dkk.
  • Editor: Elza Peldi Taher
  • Editor Bahasa: Anick HT
  • Pengantar: Budhy Munawar Rachman
  • Epilog: Greg Barton
  • Penerbit: ICRP & Buku Kompas, 2009
  • Cetakan Pertama: November 2009
  • Bahasa: Indonesia
  • Tebal Buku: xxxviii + 802 halaman
  • Dimensi Buku (Px L): 15 x 23 cm
  • Website Resmi Penerbit:
  • No ISBN: 978-602-95566-0-5
  • Harga Buku:
    • Gramedia: Rp.96.000
    • (Harga Update Agustus 2011)

SINOPSIS

Buku ini adalah persembahan para sahabat “majemuk” kepada Djohan Effendi atas pemikiran-pemikirannya pada studi kemajemukan beragama (baca: Pluralisme Beragama). Tulisan-tulisan di dalamnya bukan berupa biografi Djohan Effendi, namun berisi peta pemikiran kebebasan beragama dari para sahabat Djohan, sehingga bisa menambah cakrawala berpikir tentang kebebasan dan kemajemukan beragama. Kesan juga ditampilkan para penulis dalam menanggapi sosok Djohan yang ramah, tidak suka memaksakan pendapat, meskipun kadang terdapat beda pemikiran, itu hal biasa. Namun perlu dicatat, bahwa forum berdialog adalah upaya menumbuhkan toleransi kerukunan umat beragama. Hal itu intens dengan pemikiran—pemikiran Djohan Effendi yang berkiprah di ranah kemajemukan beragama. 

Djohan Effendi adalah aktivis HMI semasa mudanya, ia pernah menerbitkan buku “Pergolakan Pemikiran Islam”. Djohan mengritisi pemikiran “sesat” terhadap paham pluralisme. Di mana masyarakat awam masih ada yang menganggap pluralisme adalah sinkretisme (baca: mencampuradukkan ajaran semua agama menjadi satu), menyamaratakan semua agama itu sama. Hal itulah yang ingin dijelaskan Djohan dan para sahabatnya pada bukunya ini sehingga mengenalkan apa yang dimaksud paham pluralisme sebenarnya, sehingga umat Islam tidak gegabah menganggapnya sesat.

REVIEW

Buku ini mengupas habis-habisan mengenai pemikiran sosok plural di bidang kemajemukan beragama. Beliau adalah Djohan Effendi, sang pejuang toleran yang militan. Tokoh-tokoh lain yang segaris pemikiran seperti, Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Gus Dur, Munawir Syadzali menjadi “buah bibir” di kalangan cendekiawan muslimnya yang pemikirannya banyak mendapat apresiasi sekaligus kecaman dari beberapa pihak. Namun mereka tak berputus asa untuk selalu mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam yang dirasa banyak mengalami stagnansi pola berpikirnya. Hal inilah yang melatar belakangi para sahabat Djohan berinisiatif menerbitkan buku berjudul Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi untuk menyambut hari ulang tahun Djohan yang ke-70 tahun. Sekitar 40 sahabat Djohan “berjamaah” mengumpulkan pemikirannya dan ditulis dengan semangat kemajemukan beragama, penulis berlatarbelakang agama, suku yang berbeda-beda mampu menjadi benang merah atas pemikiran Djohan Effendi mengenai toleransi dan kebebasan  beragama. Materi terbagi dalam enam bagian, bagian pertama Jejak Djohan Effendi dalam Wacana dan Gerakan Keagamaan di Indonesia (hal.1), bagian kedua membumikan Toleransi dan Pluralisme (hal.75), bagian ketiga Wacana Pluralisme Agama (hal.145), bagian keempat Negara dan Kebebasan Beragama (hal.313), bagian kelima Gerakan Dialog Agama (hal.495) dan bagian keenam Agama, Teologi, dan Demokrasi (hal.675) dan ditambah terakhir Epilog Greg Barton (Djohan Effendi: Modest Mensh , Virtuous Intellectual).

Menarik, pada bagian pertama Azyumardi Azra dalam tulisannya “Toleransi Agama dalam Masyarakat Majemuk: Perspektif Muslim Indonesia”, mengupas tentang kemajemukan beragama yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, pada penetapan Piagam Madinah pada 622 M. Biasa disebut kontitusi Madinah (hal 19) oleh Nabi Muhammad selaku pemimpin Madinah waktu itu, mengikat janji dalam konstitusi tersebut, secara tegas dinayatakan hak-hak penganut agama selain Islam—Yahudi dan Nasrani untuk bebas hidup berdampingan secara damai dengan kaum muslim. Hal itu membuktikan bahwa posisi Yahudi dan Nasrani diakui secara nyata dan tidak dilenyapkan. Meskipun orang-orang Yahudi kemudian mengkhianati apa yang disepakati dalam Piagam Madinah, namun kaum muslim tetap mengakuinya karena kepatuhan kepada contoh yang diberikan Nabi Muhammad selaku kepala negara Madinah. Nilai-nilai kemajemukan sudah tumbuh ketika Nabi Muhammad menjadi penyebar islam waktu itu yang hanya membela diri ketika orang-orang musyrik Mekkah memeranginya namun tetap menjaga kerukunan toleransi beragama di antara suku-suku Arab pada waktu itu.

Hal itulah yang ingin diperbaiki di Indonesia ini, dengan kemajemukan agama dan suku yang berbeda-beda, kenapa tidak bisa bertindak sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Di Indonesia ini, contohnya di mana kemajemukan umat beragama seharusnya menjadi upaya saling toleransi antar umat beragama. Namun hal itu masih menjadi “PR” bersama, peristiwa kekerasan agama di Indonesia bukan menjadi barang langka, dari peristiwa Bom Bali, Bom Hotel J.W Marriot, Bom Hotel Ritch Carlton, hingga yang terakhir terjadi Tragedi Kekerasan 1 Juni 2008, Bom Buku, dan Bom “bunuh diri” di Cirebon.

Hal itulah mengapa di era sekarang, masyarakat rentan adanya doktrin-doktrin  radikalisme keras yang hanya memandang kelompoknya saja yang paling benar. Ketakutan warga oleh aksi terorisme belakangan ini membuat umat saling curiga di antara umat beragama, Hal itulah yang menimbulkan konflik baru di kalangan masyarakat beragama.

Pertanyaan timbul, bagaimana bibit saling curiga, benci ini bisa mendamaikan situasi dalam masyarakat ini yang terlanjur ternodai aksi-aksi terorisme tersebut. Maka dari itu, menurut hemat Kita, ada dalam buku ini yang bisa dipetik hikmahnya, yaitu bagaimana usaha konsolidasi antara pemimpin-pemimpin agama tingkat pusat bisa mengajak dialog antara semua pemuka agama di negeri ini, dan peran pemerintah menjadi fasilitator forum dialog ini sangat penting.  Hal itu disadari bahwa umat jangan sampai bertindak main hakim sendiri atas apa yang terjadi di lapangan, namun kesepakatan bersama antra pemuka agama inilah yang bisa diimplementasikan oleh seluruh umat beragama. Agar satu sama lain tak ada rasa saling curiga, saling menghormati akidah masing-masing, sehingga cepat atau lambat negeri ini akan rukun dan damai di antara kemajemukan beragama. Satu contoh kasus, peristiwa Monas 1 Juni 2008, tragedi kekerasan terjadi, bahkan bukan antarumat namun satu umat seagama saling pukul, saling “mengkafirkan” seperti yang dialami dan ditulis M. Syafii Anwar dalam buku ini. juga menjadi salah satu korban pemukulan sejumlah oknum gerakan antipluralisme telah menciderai kebebasan berpikir di antara umat. Hal ini, menyimpulkan betapa sensitifnya urusan keyakinan beragama di Indonesia.

Buku ini terdapat ide-ide gagasan dari cendekiawan muslim di Indonesia yang memanfaatkan kemajemukan beragama ini disiasati dengan kerukunan beragama yang urgen, hal ini karena sudah dari turun temurun, negera Indonesia yang bisa disebut “Negara Kepulauan” memiliki ciri khas yang berbeda-beda, tak hanya agama, melainkan suku, budaya, dan bahasanya. Maka dari itu Indonesia didirikan atas asas pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan begitu sudah jelas, keberagaman seharusnya menjadi rahmat dan berkah bagi Negara Indonesia ini. bukan menjadi sarana pemecahbelahan persatuan kesatuan negeri ini.

Buku yang ditulis 40 penulis ini sarat akan pengakuan keberagaman agama di Indonesia dan ditujukan bagi Djohan dan pembaca semua yang mencintai kedamaian antara sesama manusia agar mengupayakan kerukunan umat beragama. Tulisan-tulisan tersebut dirangkum menjadi satu buku ini dengan bahasa konvensional, menarik dari segi subtansinya. Namun ada sedikit yang perlu diperhatikan pada tulisan Gold Talk oleh Franz Magnis Suseno (hal.65) yang terlalu panjang dan kurang mendalam dari substansinya yaitu menyikapi pemikiran Djohan Effendi tentang pluralisme itu sendiri. Hal lain yang membuat “keringetan” adalah epilog: Djohan Effendi-Modest Mensh, Virtuous Intellectual, tulisan Greg Berton yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuat kurang nyaman untuk dibaca oleh kaum awam, dan lebih baiknya ke depan, percetakan selanjutnya bisa ditambahkan terjemahannya, agar lebih memudahkan dalam membaca substansi yang ingin Greg Berton sampaikan mengenai sosok Djohan Effendi.

Namun tak mengurangi buku ini, substansi isi dari beragama penulis dari latar belakang suku atau agama yang berbeda ternyata bisa membuat tema pluralisme dalam kehidupan beragama ini bisa tercipta melalui buku ini. dan sekarang bagi pembaca dan khalayak umum lainnya diharapkan bisa mempersiapkan perayaan pesta kemajemukan beragama ini bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya dan tentu saja dengan kedamaian antarumat beragama..

(ipung_sa/Kitareview.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here