DATA FILM
- Judul Film: Capitalism: A Love Story
- Genre: Dokumenter
- Sutradara: Michael Moore
- Penulis Skenario: Michael Moore
- Produser: Michael Moore – Anne Moore
- Studio produksi: The Weinstein Company – Dog Eat Dog Films
- Distributor: Overture Films (Amerika) – Paramount Vantage (Internasional)
- Negara: Amerika Serikat
- Bahasa: Inggris
- Durasi: 127 menit
- Tahun Rilis: 2 Oktober 2009
SINOPSIS FILM CAPITALISM: A LOVE STORY
TRAILER
REVIEW FILM CAPITALISM: A LOVE STORY
Kapitalisme adalah iblis, Anda setuju?
Pertama-tama Kita harus mengakui bahwa film garapan Michael Moore ini punya cita rasa ideologis. Film dokumenter yang bercerita tentang kejayaan kapitalisme di Amerika Serikat yang mulanya diyakini mampu memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, serta menjadi tonggak bagi kemajuan ekonomi negara itu, perlahan digerogoti oleh keserakahan dan puncaknya oleh badai skandal subprime mortagage yang terjadi di tahun 2008. Badai besar itu perlahan mengubah keyakinan Moore tentang kapitalisme yang mampu memberi kebahagiaan bagi kebanyakan orang.
Film yang menghabiskan dana sebesar US$ 20 juta untuk biaya produksinya ini, cukup berhasil menceritakan berbagai karakter kehidupan di negara maju Amerika Serikat dengan segala problematika ekonomi-politik di tengah masyarakatnya, walaupun juga harus diakui kalau di film ini masih tersisa “secuil” karakteristik narsis Amerika Serikat yang gemar mengklaim dirinya sebagai negara superior. Tapi mungkin hal ini juga bisa dikatakan sebagai satu-satunya kekurangan yang dimiliki Capitalism: A Love Story.
Dari segi alur cerita, bisa dikatakan film ini banyak diselipi oleh plesetan-plesetan bernada humor yang dimaksudkan sebagai sindiran. Dan meskipun melelahkan untuk ditonton, namun punya kelebihan dalam berbagai aspek. Bagian awal film ini menggiring kita kepada pengertian umum tentang apa itu kapitalisme, dan bagaimana sistem itu digunakan untuk menopang kehidupan warga Amerika Serikat. Setelahnya, film ini terasa tepat karena memuat nuansa krisis kapitalisme yang digambarkan dengan pengangguran serta PHK yang sedang terjadi di mana-mana. Juga jangan lupa gambaran mengenai pebisnis busuk yang doyan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, atau politisi yang bekerja bukan untuk rakyat tapi demi keuntungan korporasi, atau kenyataan tentang betapa sedikit jumlah politisi Amerika Serikat yang benar-benar bekerja untuk negara dan rakyatnya. Semua elemen-elemen itu menambah bobot realisme yang ada di dalam film ini.
Untuk ukuran sebuah film dokumenter, film ini berhasil menghadirkan ironi tentang bagaimana sebuah sistem yang menjanjikan kebebasan, dan kelihatannya tidak akan runtuh serta merupakan keniscayaan, ternyata merupakan lahan tempat bersemainya kebusukan yang dipupuk oleh keserakahan manusia itu sendiri. Dengan sendirinya, Anda yang menonton film ini sampai tuntas paling tidak akan dibawa mengarungi beberapa jenis perasaan: simpati kepada para korban kapitalisme, kebencian kepada para politisi dan manusia yang serakah, atau seketika pikiran Anda menjadi lebih terbuka dan kritis dalam menilai kehidupan yang berjalan di sekitar Anda.
Apapun pilihan perasaan yang Anda ambil setelah menonton film ini, maka percayalah perasaan-perasaan itu terasa semu, terutama ketika Anda memilih untuk tidak mengacuhkan segala sesuatu yang tampak tidak beres, yang terjadi di depan mata Anda. Seperti yang Kita sebut di atas, film ini mungkin bagi sebagian orang merupakan film yang melelahkan, dan kalau film ini Anda anggap membosankan, maka Anda akan dengan mudah melupakan perasan-perasaan yang muncul setelah menonton film ini.