Canting

0
471

Canting
Sebuah novel yang mengandung banyak hikmah budaya Jawa.

DATA BUKU

    • Judul Buku: Canting
    • Jenis Buku: Novel
    • Genre: Fiksi – Dewasa
    • Penulis: Arswendo Atmowiloto
    • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
    • Bahasa: Indonesia
    • Cetakan Pertama: Juli 1986
    • Tebal Buku: 408 halaman
    • Dimensi Buku (P x L): 11 x 18 cm
    • Website Resmi Penerbit: http://www.gramedia.com
    • No. ISBN: 978-979-22-3249-3
    • Harga:
        • Gramedia: Rp.40.000

(Harga Update Maret 2010)


KARAKTER UTAMA

  • Ni
  • Pak Bei
  • Bu Bei


SINOPSIS

Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napas dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting, karena munculnya jenis printing –– cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejab saja.

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni –– sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean – yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.

Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.” Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng –– aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa.



REVIEW


Novel dengan latar belakang budaya Jawa ini menggambarkan perubahan budaya yang tidak dapat ditolak. Menjelaskan dan menunjukkan secara langsung maupun tidak langsung bagaimana budaya Jawa pada tahun 1962 sedikit demi sedikit terkikis. Dengan menggunakan simbol canting sebagai budaya lama melawan batik cetak, penulis novel ini memaparkan bagaimana pergulatan tokoh-tokoh dalam novel ini.

Novel ini sendiri terasa agak berat di bagian-bagian awal karena zaman yang sudah sama sekali berbeda dengan keadaan sekarang. Panggilan kebesaran dalam bahasa Jawa – semacam gelar – terus dipakai sehingga pada bagian-bagian tertentu, susah membedakan tokohnya. Namun, cerita ini menjadi semakin menarik pada saat memasuki babak berikutnya – saat tokoh utama, Ni – sudah dilahirkan. Cerita menjadi lebih mengalir dan nyaman untuk diikuti.

Secara keseluruhan novel ini sangat bermanfaat sebagai pengingat bagaimana dulu budaya Jawa berlaku. Cerita pergulatan tokohnya dalam memaknai kehidupan memberikan banyak nilai yang dapat kita petik – yang ternyata telah ada pada masa itu. Orang Jawa sekarang pun Kita yakini, setelah membaca novel ini, akan mendapat pemahaman tersendiri mengenai budayanya.

Sebuah novel yang mengandung banyak hikmah budaya Jawa.


(just_hammam/Kitareview.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here