Calo Presiden

0
799

Calo Presiden
“Penonton akan dibawa menuju pengalaman politik yang lucu, yang akan mengajak Anda tersenyum kecil”

DATA FILM

  • Judul Film: Calo Presiden
  • Genre: Drama – Komedi – Parodi
  • Sutradara: Toto Hoedi
  • Penulis Skenario: Toto Hoedi
  • Studio Produksi: Ninefx Production
  • Distributor: Ninefx Production
  • Negara: Indonesia
  • Bahasa: Indonesia
  • Durasi: 90 menit.
  • Tahun Rilis: 4 Juni 2009


PEMERAN UTAMA

  • Dwi Sasono sebagai Hartono, SE.
  • Happy Salma sebagai Ningsih
  • Catherine Wilson sebagai Priti
  • Sujiwo Tejo sebagai Sugiato
  • Butet Kertaradjasa sebagai Pak Prakoso / Ayah Hartono
  • Kelik Pelipur Lara sebagai Ucup Kelik
  • Denny Chandra sebagai Denny Chandra
  • Remy Sylado sebagai Dr. Gondo Wijoyo, SH. MBA. M.Ber.
  • Effendy Ghazali sebagai Dek Pendi
  • Febby Febiola sebagai Febby / Penyiar Berita

   
SINOPSIS

Berawal dari sebuah  penangkapan oleh KPK, yang mengakibatkan penahanan seorang pemimpin partai politik yang maju sebagai calon presiden. Akhirnya mereka memutuskan mencari orang yang bisa dijadikan boneka dengan kriteria yang kacangan dan tidak masuk akal. Mereka mencari pemimpin yang bisa menjadi tumbal dan hanya sebagai alat mereka mencari keuntungan dengan kriteria lugu.

Sampai mereka menemukan seorang staf administrasi kantor yang lugu dan mau diangkat sebagai karyawan di kantor tersebut dengan gaji 2,5 juta Rupiah. Dia sangat bahagia sekali, dengan tugas yang sangat mudah.

Masalah muncul saat perasaan dan kata hati mulai bertanya, benarkah apa yang dia lakukan, karena dia melihat secara terang-terangan kejahatan yang dilakukan oleh teman-temannya di partai. Akhirnya si jujur menang, namun ada ancaman pada saat ingin dilantik menjadi presiden.

Kejujuran tidak pernah benar dalam berpolitik, karena politik tidak pernah mau jujur.   



TRAILER

 


REVIEW


Sebagai sebuah film, Calo Presiden menyajikan cita-cita mulia dari dunia politik yang dewasa ini sedang terlihat carut-marut. Film yang dikemas secara parodi ini merupakan hasil dari kolaborasi orang-orang di balik acara Republik Mimpi yang sempat hangat disiarkan di sebuah stasiun televisi swasta. Jelas, dengan para personel belakang layar seperti itu, parodi politik ini menjanjikan sebuah pemandangan politik yang gampang dicerna masyarakat awam.

Bagaimana sebuah situasi kampanye, dengan panggung dan penyanyi di atasnya, massa yang berkerumun meneriakkan nama partainya, dan tokoh partai yang berpidato berjanji-janji manis di atas panggung, semua elemen dari pesta demokrasi itu tergambar gamblang. Parodi yang dilancarkan pun khas sekali Republik Mimpi. Seperti ketika Sugiarto, sekjen partai ASU yang diperankan oleh Sujiwo Tedjo dalam sebuah konferensi pers menjelaskan arti Demokrasi sebagai, “…dalam demokrasi siapa boleh apa, si anu boleh anu, asal sesuai dengan siapa yang sudah dianu.”

Faktor-faktor tersebut sudah terang memperlihatkan film ini sebagai film parodi terhadap keadaan politik negara ini sekarang. Belum lagi jika melihat kualitas para cameo yang terlibat dalam film ini. Sebut saja Hidayat Nurwahid dan Gusdur, dua tokoh politik papan atas Indonesia. Bahkan Jusuf Kalla, yang saat film ini dibuat, masih menjabat sebagai wakil presiden.

Terlepas dari keunggulan-keunggulan di atas, kualitas akting para pemain dalam film ini terlihat kurang. Dwi Sasono yang berperan menjadi Hartono terlihat tanggung ketika memainkan perannya sebagai seorang office boy yang beralih menjadi seorang ketua partai. Lebih lagi ketika dia menjadi calon presiden, gestur dan cara bicaranya masih terlalu “artis”, bukan pemimpin bangsa. Kehadiran Effendy Ghazali, Kelik Pelipur Lara, dan Denny Chandra dalam film ini menguatkan kesan parodi film ini, namun sayang akting parodi yang mereka lakukan masih sangat “Republik Mimpi”, tidak terlihat ada transformasi dari sebuah acara tv menjadi sebuah film. Mungkin ini akibat dari tujuan film ini sendiri yang memang ingin menyindir, menyindir siapa saja yang bisa disindir. Jadi kualitas akting bisa di nomor duakan. Hanya Sudjiwo Tedjo dan Butet Kertaradjasa dalam film ini yang terlihat memiliki karakter, sisanya adalah parodi.

Jalan cerita yang terjalin juga tidak terlalu mengejutkan. Kejutan yang ada (jika bisa disebut kejutan), hanya ketika Hartono diangkat menjadi ketua Partai. Setelah itu film mengalir dalam aliran yang mudah ditebak. Pada akhirnya penonton akan memusatkan perhatiannya pada parodi-parodi (baca: sindiran-sindiran) yang bertebaran dalam film ini.

Namun, memang harus bisa dibedakan, mana hal yang disebut parodi dan mana hal yang disebut lawak, karena parodi memang identik dengan lawak namun tidak sama mutlak. Maka terlepas dari kualitas parodi tingkat tinggi yang ada dalam film ini, parodi-parodi tersebut tidak akan membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Penonton akan dibawa menuju pengalaman politik yang lucu, yang akan mengajak Anda tersenyum kecil, sambil memikirkan kembali kondisi bangsa saat ini. Dan mungkin saja, penonton justru akan tertawa lebar, pada akhirnya sambil berkata halus, ….Politik itu ternyata lucu.” 😀 

(AriefJuga/Kitareview.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here