Bulan Jingga dalam Kepala

0
992

Bulan Jingga dalam Kepala

..latar belakang novel ini mengambil sudut pandang sejarah politik Indonesia, dan melukiskan hiruk pikuk gerakan mahasiswa Indonesia di abad XX.

DATA BUKU

  • Judul Buku: Bulan Jingga dalam Kepala
  • Jenis Buku: Novel
  • Genre: Fiksi
  • Penulis: M. Fadjroel Rachman
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: 1 Septermber 2007
  • Bahasa: Indonesia
  • Tebal Buku: 421 Halaman
  • Dimensi Buku (Px L): 13,5  x 20 cm
  • Website Resmi Penerbit: http://www.gramedia.com
  • No ISBN: 979-22-2876-4
  • Harga Buku:
    • Gramedia: Rp.35.000
    • (Harga update Desember 2011)

 

KARAKTER UTAMA

  • Surianata
  • Bulan Langit
  • Herndarman
  • Shinta Prameswari
  • Jenderal Suprawiro
  • Lesmana Abadi

 

SINOPSIS

Istana Merdeka diduduki seratusa ribu mahasiswa untuk menangkap seorang dictator, Presiden Jenderal Suprawiro. Sang presiden tertembak mati dan digantung terbalik seperti pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini. Puteri bungsu presiden, Bulan Pratiwi (5 tahun) tertembak juga secara tidak sengaja oleh sang tokoh mahasiswa, Surianata, ketika melindungi kekasihnya, Bunga Langit. Kematian Bulan Pratiwi inilah pemicu “pertempuran dunia batin” Surianata hingga detik terakhirnya.

Fiksi sejarah politik Indonesia dan dunia kontemporer, melukiskan hiruk pikuk gerakan mahasiswa Indonesia di abad XX dan awal abad XXI. Anak-anak muda “idealis danpemarah” dengan pergulatan batin sebagai manusia kongkret ktika kekerasan silih berganti di tengah pertarungan kekuasaan dan kebebasan. Berlatar istana hingga sel penuh kekerasan di Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil Yasukuni Tokyo, horror Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen dan Holocaust Memorial Berlin. Bulan jingga dalam Kepala mengajak Anda bertamasaya jiwa ke dunia realis dan surealis tentang tragedy, kerapuhan hidup, serta keserbamungkinan pilihan manusia.

REVIEW

Buku ini adalah novel pertama M. Fadjroel Rachman, seorang aktivis sekaligus pengamat politik yang juga penyair yang sudah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisinya Sejarah Lari Tergesa (2004), terakhir kumpulan puisinya Dongeng untuk Poppy (2007). Pengalamannya yang juga mantan mahasiswa ITB jurusan kimia yang sehari-hari bergelut dengan pergerakan mahasiswa waktu itu, mendorongnya untuk menuliskan sebuah kilas balik perjuangannya bersama rekan-rekan mahasiswa ITB yang tergabung dalam  “Kelompok Sepuluh Bandung”, yang pada waktu terlibat pemboikotan Jenderal Rudini dikala berkunjung memasuki gedung ITB. Hal itu berakibat penangkapan dan pemenjaraan atas mahasiswa ITB termasuk dirinya. Pengalaman itulah yang ingin dituliskannya dalam novel sejarah ini. Kenapa disebut novel sejarah?

Hal yang utama adalah karena latar belakang novel ini mengambil sudut pandang sejarah politik Indonesia, dan melukiskan hiruk pikuk gerakan mahasiswa Indonesia di abad XX. Tokoh yang terdapat dalam buku ini juga merupakan representasi dari tokoh politik Indonesia hingga dunia. Seperti bisa dilihat latar novel ini mengambil beberapa yakni, tempat Penjara Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Kuil Yasukuni Tokyo, Hiroshima, hingga Memorial Berlin. Rupa-rupanya Fadjroel ingin menrekonstruksi ulang sejarah kekerasan yang terjadi di berbagai negara, Jepang, Jerman dan Indonesia.

Karya ini bisa dikategorikan fiksi sejarah politik Indonesia. Dari sejarahnya yang menceritakan pergerakan mahasiswa di Indonesia, Fadjroel ingin membuka mata kita lagi atas kelamnya sejarah kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara (baca: tentara dan penguasa), yang berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, buruh, petani dan mahasiswa.

Sejarah dalam novel ini merepresentasikan kekuasaan Orde Baru. Bagaimana kuatnya peran militer dalam menjaga stabilitas keamanan yang pada waktu identik dengan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Orde Baru. Penguasa dalam novel ini diperankan oleh Jenderal Suprawiro yang memiliki kekuasaan  pada tahun X dengan tangan besi. Kisah ini mengalami flashback yaitu tujuh tahun sebelum tahun X, mahasiswa kampus ITB yang dipimpin Surianata membentuk perkumpulan organisasi “Lingkar Sokrates”. Organisasi berisi 10 mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul merencanakan pemunduran Jenderal Suprawiro dari kursi kepresidenan. Organisasi Lingkar Sokrates memobilisasi aktivis mahasiswa. Sehingga gelombang demonstrasi menuntut keadilan terhadap pemerintahan Jenderal Suprawiro tak dapat dihindari. Intinya, pemerintahan Jenderal Suprawiro yang kejam, otoriter dan menindas rakyat harus segera dilengserkan.

Mahasiswa geram atas sikap Jenderal Suprawiro acuh dan tidak mengubris tuntutan mahasiswa dan demonstran lainnya. Upaya demonstrasi kecil-kecilan itu mampu dibubarkan aparat meski menggunakan peluru karet dan gas air mata. Akibat kericuhan tersebut ada demonstran yang dipukul, ditendang, diculik dan digelandang ke Markas Komando Politik Jawa Barat. Kemudian aktivis demonstran diinterogasi oleh aparat disertai penganiayaan dan penyiksaan.

Berselang waktu tiga bulan, demonstran yang terdiri dari aktivis mahasiswa tersebut dilepaskan dengan syarat membuat surat pernyataan tidak akan bersedia berdemonstrasi. Upaya tekanan psikologis dari aparat tersebut ternyata sia-sia karena dalam waktu satu tahun kemudian, Surianata dan kawan-kawan Lingkar Sokrates mampu mengoordinir aktivis mahasiswa dari berbagai kampus seluruh Indonesia. Selain itu elemen masyarakat yang tergabung dalam organisasi petani dan buruh berhasil turun ke jalan. Demonstrasi pun tak terelakkan, semua demonstran tumpah ruah ke jalan-jalan menuju Istana Negara. Jenderal Suprawiro dan keluarga terkepung dalam Istana. Singkatnya Jenderal Suprawiro terbunuh namun Surianata tidak sengaja menembak anak Jenderal Suprawiro yang masih kecil, bernama Bulan Pratiwi. Yang pada waktu dijadikan tameng oleh Jenderal Suprawiro.

Hal tersebut membuat hati Surianata merasa bersalah dan bertanggungjawab atas perbuatannya dengan menyerahkan diri ke pihak kepolisian. Surianata mendapat vonis mati. Tak lama sebelum dieksusekui mati, Hendarman yang mendapat beasiswa S3 kedokteran spesialis ginjal di Belanda, namun Hendarman tak sempat menapaki fakultas kedokteran di Belanda tersebut karena tewas setelah diracun di perjalanan menuju Belanda.

Bila Anda selintas membaca novel ini, Anda akan dihadapan beberapa resepresentasi peristiwa. Seperti kematian Jenderal Suprawiro yang digantung terbalik, mengingatkan Anda pada peristiwa kematian  pemimpin Fasis, Bennito Mussolini, dan istrinya di Italia. Selain itu kematian Hendarman diakibatkan racun arsenic ketika beranjak ke Belanda, praktis mengingatkan almarhum Munir. Selain itu penggunaan tahun X yang sengaja ditutupi angka kepastiannya merupakan cara Fadjroel dalam menyembunyikan latar waktu sebenarnya. Untuk memberikan kesan fiksi dan bukan hanya bercerita latar sejarah saja sehingga menggambarkan bahwa sejarah kekerasan akan terus berulang.

Dalam buku ini peristiwa kekerasan, ketidakadilan penguasa kepada rakyatnya direkonstruksi dengan detail, rinci hingga pelaku sejarah terlihat kental, dan korbannya juga masih hangat terdengar di telinga kita.  Fiksi bukan hanya berdasarkan data-data ilmiah yang valid saja namun cara penyampaian sastrawi juga harus diperhatikan sehingga tidak terjebak pada stigma pembaca yang akan menilai karya ini sebuah informasi berita. Para tokoh yang berlalulalang menghinggapi percakapan dirasa malah mengaburkan karakter mereka masing-masing. Namun terlepas dari itu Bulan Jingga dalam Kepala ini berusaha mengajak kita semua, untuk bertamasya jiwa ke dunia realis dan surealis tentang makna tragedi, kerapuhan hidup, serta pilihan hidup manusia.

Fadjroel ingin menunjukkan bahwa manusia memiliki pilihan untuk menjadi baik datau jahat dan beringas. Surianata yang bila mau bisa melarikan diri ke luar negeri pasca penembakan Jenderal Suprawiro, dengan membawa harga diri sebagai laki-laki yang bertanggungjawab, karena ia yang menyebabkan Bulan Pratiwi, anak yang tidak berdosa itu meninggal disebabkan olehnya, hal itu memicu konflik batin yang membenarkan tindakan Surianata untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib untuk mendapat hukuman. Demi rasa kemanusiaan ia berusaha menebus rasa bersalahnya atas kematian Bulan Pratiwi.

Begitu juga, Lesmana Abadi yang bertugas pengeksekusi Surianata dan sekaligus kepala penjara Sukamiskin yang mati bunuh diri setelah sebutir peluru menembus mulutnya karena rasa munafiknya selama ini setelah melakukan kejahatan sewenang-wenang di penjara Sukamiskin. Peristiwa sama terjadi pada nasib Jenderal Suprawiro yang memilih mati digantung oleh rakyatnya karena haus kekuasaan. Di sini, Fadjroel ingin mengatakan kepada kita semua, rakyat maupun penguasa, pejabat sekalian, bahwa manusia diciptakan oleh tuhan demokratis, bahwa dalam novel ini dikatakan, makhluk pertama yang diberi hak demokrasi oleh Tuhan adalah Iblis, karena diberi kesempatan untuk boleh tidak sujud kepada Adam dan akibatnya ia diberi penangguhan di dunia untuk menggoda anak-anak Adam. Begitu juga manusia boleh memilih mana baik dan mana buruk, karena segala apa yang dilakukan akan mendapatkan sesuai dengan yang diperbuatnya. Siapa yang menanam kebaikan pasti akan tumbuh kebaikan. Namun kebaikan dan keadilan tersebut harus didapat dengan berjuang bukan hanya bersantai saja berpangku tangan. Buku ini menarik dari segi substansi isi yang ingin disampaikan kepada pembaca, karena terdapat pesan untuk tidak boleh melupakan sejarah, seperti ucapan Bung Karno waktu itu,” JAS MERAH” yang artinya Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Hal itulah yang diupayakan penulis dalam buku novel ini, yaitu kita mendapat wawasan akan sejarah kelam kekerasan dan politik di Indonesia.

(ipung_sa/Kitareview.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here