Review Buku Novel Anak Semua Bangsa

“Buku ini seharusnya menjadi bacaan wajib para organisatoris dan para politikus yang masih memiliki nurani..”

0
6433
Review Anak Semua Bangsa

DATA BUKU

  • Judul Buku: Anak Semua Bangsa
  • Jenis Buku: Novel
  • Genre: Fiksi – Roman
  • Penulis: Pramoedya Ananta Toer
  • Penerbit: Lentera Dipantera
  • Cetakan: 12 Januari 2010
  • Bahasa: Indonesia
  • Tebal Buku: 539 Halaman
  • Dimensi Buku (P x L): 13 x 20 cm
  • Website resmi/email Penerbit: –
  • No ISBN : 979-97312-4-0
  • Harga Buku:
    • Gramedia: Rp.90.000 (Harga Update Mei 2011)

DATA LAINNYA

KARAKTER UTAMA

  • Minke
  • Nyai Ontosoroh
  • Khouw Ah Soe
  • Keluarga De La Croix ( Sarah, Miriam, Herbert)
  • Maysaroh
  • Jean Marais

SINOPSIS BUKU NOVEL ANAK SEMUA BANGSA

Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini member bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.

Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode.

Roman kedua Tetralogi, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuasaan raksasa Eropa. Di titik ini Minke dihadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala zaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.

REVIEW
 BUKU NOVEL ANAK SEMUA BANGSA

Roman Anak Semua Bangsa merupakan lanjutan dari Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat, Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis, tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu.”

Hal itulah yang tercermin dari roman Anak Semua Bangsa. Minke memasuki tahap berkiprah di lapangan, seperti apakah Eropa dan lingkungannya, dan tak lupa ia juga menjejakkan di lapangan pribuminya sendiri. Ia menemukan sesuatu hal yang berlawanan. Eropa yang cenderung peradaban yang melimpah, pengetahuan luas di dapatnya, dan paradoksnya ia turun ke jalan-jalan pribumi dan menemukan manusia seperti dirinya yang lapar, amat sengsara dari tindasan kolonialisme.

Pramoedya dalam Anak Semua Bangsa semakin detail dalam mengungkapkan peristiwa, konfliknya. Ibarat penyelam, Pram menukik ke bawah, menyelam sedalam-dalamnya, hingga ada satu dibenaknya, “mutiara”. Namun ia tak berhenti di situ, sebelum sampai ke dasar ia muncul lagi ke permukaan mencari segala peralatan yang menjangkau untuk di bawa ke dasar laut. Rasa takut mengalahkan semua itu. Hal itulah analogi sederhana Minke yang digambarkan Pramoedya layaknya sebagai pribumi yang terpesona oleh keagungan Eropa, namun meninggalkan rasa jijik yang dalam karena menginjak-nginjak pribumi dengan tidak manusiawi.

Meskipun bahasanya serius dan konvensional, hal itu memberikan kekhasan tersendiri bagi Pram selaku pengarang. Itulah yang ingin diungkapkan Pram kali ini, hanya ada satu kata “mencipta kebersamaan dalam organisasi” untuk melawan Eropa dan mengusirnya dari pribumi apa pun resikonya. Itulah cara pribumi ini merdeka—keluar dari kolonialisme iblis seiblis-iblisnya. Pertanyaan terbersit,” maukah pribumi melakukan ini semua?

Hingga zaman berganti, di era reformasi ini ide Anak Semua Bangsa bisa relevan dalam menangagapi kancah perpolitikan Indonesia. Dimana sangat mudah dan banyak organisasi-organisasi yang dibentuk mengatasnamakan rakyat—tentusaja pribumi dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Namun terbersit pertanyaan, buat rakyat yang mana, bukankan organisasi politik di era sekarang hanya memberi janji-janji dan tedeng aling-aling mewakili suara rakyat hanya isapan jempol semata. Mereka hanya mementingkan golongannya saja.

Hal itulah yang berbeda, Pramoedya membedakannya pada prinsip dan semangat mereka mengusung Parpol atau Organisasi untuk menyejahterakan rakyat. Namun semua itu kembali pada hati nurani para organisatoris yang akankah terjebak pada prestise, kedudukan atau kekuasaan semu saja atau memang benar-benar seperti Minke yang jatuh bangun membentuk organisasi yang terang-terangan hanya untuk memajukan dan membela rakyat pribumi dari akal-akalan Eropa yang jahat.

Buku ini seharusnya menjadi bacaan wajib para organisatoris dan para politikus yang masih memiliki nurani untuk menjunjung rasa idealisme dalam memajukan dan membela rakyat yang diwakilinya. Bukan hanya kepentingan organisasi atau keuntungannya saja. Itu sangat bertolak belakang sekali dari pikiran idealis Pramoedya Ananta Toer.

Roman ini menarik untuk dimiliki, apalagi buku kedua roman tetralogi ini sayang jika lolos dari bacaan pembaca, karena alur sambungan dari Bumi Manusia ini lebih kental dengan aroma pencarian jati diri Minke dan koleganya untuk menemukan siapakah sesungguhnya pribumi, setelah itu berupaya membangunkan pribumi dari tidur panjangnya. Mari bangkit, mari membaca.

(ipung_sa/Kitareview.com)

REVIEW OVERVIEW
Review Buku Anak Semua Bangsa
8.7
Previous articleThe Sea of Troll
Next articleReview Buku Novel Jejak Langkah
review-buku-anak-semua-bangsaBuku ini seharusnya menjadi bacaan wajib para organisatoris dan para politikus yang masih memiliki nurani..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here